Jumat, 30 April 2010

Perang Candu



Perang Candu, Perang Opium (bahasa Tionghoa:; Hanzi tradisional:; bahasa Tionghoa: Yāpiàn Zhànzhēng), juga disebut Perang Anglo-Cina, berlangsung dari tahun 1839 - 1842 dan 1856 - 1860[1] sebagai klimaks dari sengketa perdagangan antara Cina dibawah Dinasti Qing dengan Britania Raya. Penyelundupan opium Britania dari India ke Cina dan usaha pemerintah Cina menerapkan hukum obat-obatannya menyebabkan konflik militer.
Lin dilahirkan di Fuzhou, Provinsi Fujian. Pada masa mudanya, ia membantu ayahnya yang bekerja sebagai pembuat bunga buatan. Dengan bantuan seorang teman ayahnya yang kaya yang belakangan menjadi mertuanya, ia akhirnya bisa bersekolah dan berhasil lulus ujian kerajaan untuk menjadi pejabat. Tahun 1811, ia menerima gelar Jinshi, yaitu gelar kesarjanaan tertinggi saat itu sehingga ditunjuk menjadi juru sensor. Karirnya terus menanjak hingga diangkat sebagai gubernur jenderal untuk Provinsi Hubei dan Hunan pada tahun 1837.

Lin, sebagai seorang negarawan yang berintegritas, sangat prihatin pada kondisi bangsanya yang menyedihkan akibat opium sehingga beberapa kali ia menarik perhatian istana dengan nasehat-nasehatnya mengenai keterpurukan bangsa karena opium, ia menuntut larangan yang ketat terhadap barang haram itu. Berkat usahanya yang gigih, Kaisar Daoguang memanggilnya untuk membahas penerapan larangan terhadap perdagangan obat bius. Di hadapan kaisar, ia menegaskan bahwa opium harus dilarang karena konsumsinya menghabiskan kekayaan negara, jika tidak dikendalikan negara akan berakhir tanpa satupun lelaki yang kuat untuk bertempur di medan perang.
Lin Zexu (Hanzi:, 30 Agustus 1785-22 November 1851) adalah pejabat jujur yang hidup pada masa Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing, dia juga adalah seorang filsuf, ahli kaligrafi dan penyair. Ia terkenal akan perjuangannya menentang perdagangan opium di Tiongkok oleh bangsa-bangsa asing. Melihat negara semakin terpuruk karena harta negara terus mengalir ke Inggris untuk membeli obat terlarang itu dan kondisi bangsanya yang menyedihkan karena ketergantungan akan opium, Lin bertekad menumpas obat terlarang tersebut. Usahanya ini pada akhirnya memicu Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris.
Kaisar mengangkatnya sebagai komisaris tertinggi dan dikirim ke Guangdong untuk mengemban misi menghentikan impor opium dari pedagang-pedagang Inggris. Lin mengetahui bahwa ia mengemban tanggung jawab yang sangat berat. Kepada teman-temannya yang datang berpamitan ia berkata, “Peruntungan baik atau buruk, aku tidak peduli tentang kematian lagi. Sebelum opium dimusnahkan, aku tidak akan pernah kembali ke ibukota.” Pada bulan Maret 1839, Lin tiba di Guangzhou dan mulai mengadakan perjalanan keliling untuk mempelajari situasi dankondisisetempat.

Di sana Lin bertemu dengan raja muda Guangdong, Deng Tingzhen dan laksamana angkatan laut Guangdong, Guan Tianpei yang sependapat dengannya. Mereka sepakat untuk menghentikan penyelundupan opium dan meningkatkan pertahanan laut. Penduduk setempat juga membantu pemerintah memeriksa kapal-kapal yang membawa opium dan memberikan daftar nama para pedagang obat bius. Lin sangat terdorong oleh semangat mereka. Ia merekrut para pemuda untuk mengembangkan kekuatan militer. Di mulut Sungai Zhujiang, batang-batang kayu dirantai menjadi satu untuk mencegah kapal perang bangsa barat memasuki perairan Tiongkok.

Sementara itu dia juga banyak menghadapi berbagai tentangan dari pihak bangsa asing dan para pedagang opium lokal yang bekerjasama dengan orang asing merusak bangsanya sendiri. Kepada mereka ia menegaskan, “Selama konsumsi opium berlanjut, saya akan terus disini dan akan melakukan pekerjaan saya hingga tuntas” . Dan ia membuktikan kata-katanya itu dengan perbuatan nyata. Pengumuman ditempatkan di setiap jalan untuk menginformasikan penduduk mengenai larangan keras terhadap obat bius itu. Batas waktu ditentukan untuk menyerahkan opium dan pipa isapnya kepada pihak berwenang. Ia memberi tiga hari pada para pedagang opium untuk menyerahkan persediaan mereka dan kedai-kedai madat mereka disegel. Selain itu, Lin juga mengumpulkan para pedagang asing dan mengultimatum mereka untuk membongkar muatannya dan menyerahkan pada yang berwenang.

Seorang pedagang madat lokal bernama Wu Shaorong pernah datang menghadap Lin secara pribadi dan mencoba menyogoknya, namun Lin dengan marah membentak dan mengusirnya. Ia juga menulis sebuah surat peringatan untuk Ratu Victoria yang menyatakan bahwa Tiongkok telah menerapkan kebijakan yang tegas bagi mereka yang memperdagangkan opium baik dari bangsa asing maupun lokal, namun sayangnya surat ini tidak sampai ke tangan sang ratu. Kebijakan Lin disambut gembira oleh para penduduk yang juga sudah resah karena merajarelanya opium.

Para imperialis Inggris mencoba mengulur-ulur waktu menaati ultimatum Lin sehingga hal ini membuat Lin mengambil tindakan tegas dengan menjatuhkan larangan perdagangan antara Tiongkok dan Inggris. Ia menutup Perusahaan Hindia Timur Britania dan memutuskan hubungannya dengan dunia luar. Angkatan laut dikerahkan untuk memantau setiap gerakan kapal asing dan menekan para pedagang opium asing menyerahkan barang mereka. Dibawah tekanan ini, Charles Elliot, kepala pengawas perdagangan luar negeri Inggris, tidak punya pilihan lain kecuali memberitahu para pedagang Inggris untuk bekerjasama dengan pemerintah Tiongkok. Melihat hal ini para pedagang opium dari negara lain juga bertekuk lutut. Pemerintah menyita lebih dari 20.000 peti opium.Cina kalah dalam perang ini, sehingga Perjanjian Nanjing dan Perjanjian Tianjin ditandatangani. Akibat perang ini, Hong Kong diserahkan kepada Britania Raya.
Awal abad 19 opium dibawa ke daratan Cina (Tiongkok) oleh para pedagang Inggris sebagai pengimbang ekspor teh ke Inggris. Opium di Tiongkok digunakan sebagai obat selain diperdagangkan. Pada masa Emperor Yung Cheng candu dihisap menggunakan pipa khas yang terbuat dari tanah liat dan diminum bersama arak. Asap candu ini diyakini bisa memberikan mimpi sewaktu tidur.
Saat pemerintahan Kekaisaran Ming dan Ching, Cina menutup jalan perniagaan dengan dunia Barat karena mereka mengganggap mereka mampu memenuhi keperluan rakyat dan tidak mau bergantung pada Barat.
Hal ini sangat menyulitkan Inggris, karena barang-barang Tiongkok seperti sutera, tembikar, rempah dan teh yang dimonopoli oleh Inggris memiliki pasaran luas di Eropa.
Melalui rundingan perdagangan akhirnya kekaisaran Cina mengijinkan Inggris berdagang di Cina tepatnya di Guangzhou (Canton). Namun Inggris menyalahgunakan kesepakatan ini dengan memasukkan opium ke Guangzhou setelah mereka mengetahui penggunaan candu cukup meluas dikalangan penduduk. Mereka ingin menjalankan perdagangan baru yaitu menjual opium atau candu.
Langkah Inggris memasukkan opium ini direspon kalangan pencandu Guangzhou, apalagi Inggris memiliki akses mudah mendapatkan opium dari India, yang secara geografis dekat dengan daratan Cina, sangat memudahkan peredaran opium di masyarakat Guangzhou.
Mengetahui semakin banyaknya pencandu Guangzhou, pada masa pemerintahan Kaisar Tao Kwang pada 1839, satu langkah tegas diambil Kwang untuk mengatasi masaah kecanduan di masyarakat. Kwang memerintahkan Komisaris Lin Tse-Hsu untuk memusnahkan dan membakar candu ilegal di Guangzhou. Pembakaran ini membuat berang Inggris dan menjadi awal dimulainya Perang Candu I. Perang yang berlangsung selama tiga tahun (1839-1842) ini menyisakan kelalahan besar-besaran bagi bangsa Cina, sebanyak 30 ribu rakyat Cina menjadi korban perang yang memaksa Cina untuk menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843).
Perjanjian Nanjing
Dalam perjanjian tersebut Cina wajib membayar upeti 21 juta ke Inggris sebagai ganti rugi. Cina juga harus membuka kembali pintu perniagaan ke dunia barat, dengan membuka pelabuhan di Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo, dan Shanghai. Inggris juga meminta wilayah Hong Kong menjadi tanah jajahan mereka. Perjanjian Nanjing menjadi pintu pembuka peredaran candu dan pembuka pintu dagang Barat ke Timur.
Perang Candu II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina pada 1856 yang dipicu pencarian kapal milik Inggris The Arrow oleh bangsa Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal tersebut membuat marah Inggris yang kembali mengobarkan perang dan kembali memenangkan peperangan. Guangzhou diduduki pasukan Inggris-Prancis sampai 1861.
Cina kembali mengalami kekalahan dan dipaksa menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Perancis, Rusia dan Amerika iku ambil bagian. Dalam perjanjian ini Cina bersedia membuka sebelas pelabuhan, dibukanya kedutaan asing, memberi sanksi pada aktivist misionaris Kristen serta melegalkan impor candu.
Perang kembali pecah tahun 1859 saat Cina menghalangi masuknya diplomat asing ke Beijing dan keinginan Inggris untuk memaksakan beberapa pasal baru dalam perjanjian Nanjing. Kali ini Inggris dan Perancis menguasai Beijing dan membakar Istana Musim panas Kaisar (Yuan ming yuan).
Konvensi Beijing tahun 1860 memutuskan Cina dipaksa untuk mematuhi kembali syart-syarat yang tertera di Perjanjian Nanjing dengan menyertakan beberapa konsensi tambahan dan mengakhiri perang.

1 komentar: