Jumat, 30 April 2010

SEKILAS BIROKRASI INDONESIA DARI ZAMAN KE ZAMAN

Pengertian
Istilah birokrasi berasal dari dua akar kata, yaitu bureau ( burra, kain kasar penutup meja), dan-cracy,ruler. Keduanya membentuk kata bureaucracy. Berbagai sumber berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga macam arti birokrasi. Pertama, birokrasi diartikan sebagai “ government by bureaus,” yaitu pemerintahan biro oleh aparat yang diangkat oleh pemegang kekuasaan, pemerintah atau pihak atasan dalam sebuah organisasi formal, baik publik maupun privat ( Riggs dalam Ndraha, 2003;513) ; pemerintahan birokratik adalah pemerintahan tanpa partisipasi pihak yang-diperintah. Kedua, birokrasi diartikan sebagai sifat atau perilaku pemerintahan, yaitu, sifat kaku,macet, berliku-liku dan segala tuduhan negatif terhadap instansi yang berkuasa ( Kramer dalam Ndraha, 2003;513). Ketiga, birokrasi sebagai tipe ideal organisasi. Biasanya dalam arti ini dianggap bermula pada teori Max Weber tentang konsep sosiologik rasionalisasi aktivitas kolektif.



Birokrasi Zaman Orde Baru
Birokrasi pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetarsinya ke dalam masyarakat, sekaligus dalam rangka mengontrol piblik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur system perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional nonideologis, dimana sistem tersebut memberikan berbagai lisensi pada kelompok fungsional dalam masyarakat, seperti monopoli atau perizinan, yang bertujuan untuk meniadakan konflik antar kelas atau antar kelompok kepentingan dalam masyarakat yang memiliki konsekuensi terhadap hilangnya pluralitas social,politik maupun budaya. Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai premium mobile bagi program pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :
1)Memindahkan wewenang administratif kepada eselon atas dalam hierarki birokrasi
2)Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat
3)Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan pengendalian atas daerah-daerah.

Birokrasi Zaman Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara – Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara – Negara yang sedang berkembang seringkali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju. Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara – Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasi yang dihadapi oleh para reformis di Negara – Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal daripada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak – tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan – kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN. Mentalitas dan budaya kekuasaan ternyata masih melingkupi sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa birokrasi kerajaan dan kolonial ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi. Inefisiensi kinerja birokrasi dalam penyelengaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik masih tetap terjadi pada masa reformasi. Birokrasi sipil termasuk salah satu sumber terjadinya inefisiensi pemerintahan. Inefisiensi kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik terlihat dari masih sering terjadinya kelambanan dan kebocoran anggaran pemerintah. Jumlah aparat birokrasi sipil yang terlampau besar merupakan salah satu faktor yang memberikan kontribusi terhadap inefisiensi pelayanan birokrasi. Lambannya kinerja pelayanan birokrasi dimanifestasikan pada lamanya penyelesaian urusan dari masyarakat yang membutuhkan prosedur perizinan birokrasi seperti pengurusan sertifikasi tanah, IMB, HO dan sebagainya.

Sebagian besar aparat birokrasi masih memiliki anggapan bahwa eksistensinya tidak ditentukan oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai pengguna jasa. Persepsi yang masih dipegang kuat aparat birokrasi adalah prinsip bahwa gaji yang diterima selama ini bukan dari masyarakat tetapi dari pemerintah sehingga konstruksi nilai yang tertanam dalam birokrasi yang sangat independen terhadap publik tersebut menjadikan birokrasi memiliki anggapan bahwa masayarakat-lah yang membutuhkan birokrasi, bukan sebaliknya. Kecenderungan perilaku birokrasi yang masih tetap korup dan belum mengubah kultur pelayanan kepada publik, semakin terlihat pada masa reformasi. Birokrasi di Indonesia saat ini masih dikuasai oleh kekuatan yang begitu terbiasa berperilaku buruk selama puluhan tahun, birokrasi tidak hanya mengidap kleptomania tetapi juga antireformasi. Kontraproduktif dalam birokrasi tersebut sangat berpotensi untuk terjadinya penularan ke seluruh jaringan birokrasi pemerintah baik Pusat maupun Daerah, baik di kalangan pejabat tinggi maupun di kalangan aparat bawah. Masih belum efektifnya penegakkan hukum dan kontrol publik terhadap birokrasi, menyebabkan berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan aparat birokrasi masih tetap berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar