Jumat, 30 April 2010
MEMAHAMI FAKSI-FAKSI DALAM TUBUH PARTAI GOLKAR
Konfik merupakan suasana bathin yang berisi kegelisahan karena pertentangan antara dua motif atau lebih. Pertentangan tersebut mendorong dua manusia untuk berbuat dua atau lebih kegiatan yang saling bertentangan pada waktu yang bersamaan.
(Hadari Nawawi dan M.Martini Hadari)
Menarik bagi kita saat menyimak dan mengikuti berbagai peristiwa politik yang begitu dinamis menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009 yang akan datang. Di tengah hingar bingarnya kepastian beberapa calon presiden yang mendeklarasikan dirinya sebagai Capres, seperti SBY, Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo dan lain-lain, namun ada komentar-komentar yang sedikit mengganggu ketika JK menyatakan dirinya siap menjadi calon presiden dari partai Golkar. Komentar tersebut justru datang dari internal dan elit partai Golkar sendiri.
Ketika JK menyatakan siap untuk maju menjadi capres, pada saat yang bersamaan ada sebagian elit partai Golkar yang cenderung ingin JK tetap berpasangan dengan SBY, para tokohnya diantaranya Prof. Muladi, Firman Subagyo, Burhanuddin Napitupulu dan Rully Chairul Azwar, para tokoh tersebut memang merupakan tokoh handal sekaligus pemikir di lingkungan DPP Partai Golkar. Kelompok lain di Golkar adalah kelompok yang menginginkan Sultan sebagai capres, kelompok ini relatif tidak begitu kuat karena hanya satu dua orang saja yang berani muncul ke permukaan, salah seorang diantaranya adalah Anton Lesiangi, tokoh Golkar berdarah NTT. Sedangkan kelompok yang ingin JK menjadi presiden terbilang paling kuat dan yang tegas-tegas sudah mendukung adalah Zainal Bintang, salah seorang tokoh Golkar dari MKGR yang berdarah Sulawesi; yang juga didukung oleh beberapa Ketua DPD Golkar provinsi diantaranya Anwar Adnan Saleh, Uu Rukmana dan Ade Surapriatna, yang notabene merupakan stakeholder partai Golkar di berbagai daerah.
Pada sisi lain beberapa tokoh Golkar, diantaranya Wakil Ketua Umum Agung Laksono menyatakan tidak benar ada perpecahan atau adanya faksi-faksi di dalam tubuh partai Golkar karena yang berkembang menurutnya adalah perbedaan pendapat yang merupakan sesuatu hal yang wajar yang terjadi pada sebuah organisasi politik yang terbuka, modern dan demokratis.
Adanya faksi-faksi di dalam tubuh partai Golkar sebenarnya merupakan pertanda bahwa soliditas partai Golkar terhitung lemah karena disinyalir begitu kuatnya tarik menarik kepentingan pribadi dan kelompok di dalam tubuh partai Golkar, khususnya elit yang duduk di dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.
Kelompok Muladi Cs sangat berhitung bagaimana kuatnya sosok SBY dan perhitungan realistis yang mungkin terjadi dalam pemilihan presiden. Bergabung dengan SBY merupakan cara aman untuk memenangkan Pemilu Presiden, walaupun dengan resiko hanya menjadi RI 2. Disamping itu mereka berargumen bahwa duet ini terhitung berhasil dalam melaksanakan pembangunan selama kurun waktu 2004-2009 sehingga sangat layak untuk diteruskan dan pada sisi lain, kombinasi ini merupakan kombinasi yang sempurna karena merepresentasikan Jawa dan Luar Jawa, Militer dan Sipill, kehati-hatian dan kecepatan. Sedangkan kelompok yang menghendaki JK maju menjadi capres, karena mereka berkeinginan untuk menegakkan wibawa partai dan menjaga harga diri partai. Mereka beralasan bahwa dari berbagai pemilihan Kepala Daerah di berbagai wilayah, banyak calon pimpinan daerah dari Golkar ”diakali” oleh calon dari partai Demokrat. Contoh kasus yang mereka angkat kepermukaan adalah kejadian Pilkada Maluku Utara dan Lampung. Mereka berpendapat koalisi yang dijalankan di tingkat pusat dan kemampuan maksimal anggota DPR Fraksi Partai Golkar ketika membela kebijakan SBY di DPR RI tidak berpengaruh positif terhadap sepak terjang partai Demokrat dalam pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah. Sedangkan kelompok yang menghendaki Sri Sultan Hamengkubuwono X maju sebagai capres menganggap bahwa Sultan lebih populer dibandingkan dengan JK sehingga mereka berhitung bahwa Sultan dapat menandingi kepopuleran SBY.
Bila kita menengok perjalanan dinamika politik partai Golkar pada era sebelumnya, paling tidak dibawah kepemimpinan Sudharmono ada beberapa catatan menarik yang perlu untuk disimak. Pada masa itu para tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkungan elit partai Golkar masih didominasi oleh kader-kader non muslim yang cukup piawai pada masanya, seperti Alberth Hasibuan, David Napitupulu, Jacob Tobing dan kader binaan Vater Beek, seperti Yusuf Wanandi, yang juga banyak berkiprah di CSIS. Kelompok ini sangat kuat dan cukup diandalkan oleh Golkar. Saat itu memang hubungan Islam sebagai sebuah pergerakan dan Golkar pada sisi yang lain, bagaikan api dalam sekam, walaupun petinggi Golkar sudah membuat sayap organisasi dakwah Islam seperti MDI (Majelis Dakwah Islamiah) dan Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama).
Sedangkan pada masa kepemimpinan Wahono, pada saat itu, politisi bertemperamen vokal diantaranya tokoh Golkar berdarah Kalimantan, Anang Adenansi mensinyalir ada sesuatu yang tidak beres di dalam pengambilan berbagai keputusan di dalam tubuh partai Golkar. Anang mengibaratkan ada ”Buto” (tokoh jahat di dalam dunia pewayangan) di dalam tubuh partai Golkar, sehingga banyak terjadi ketidakadilan dalam berbagai pengambilan keputusan dibuat oleh Dewan Pembina Golkar.
Perubahan mendasar atas hal-hal tersebut di atas terjadi sejak era kepemimpinan Harmoko dan Ary Mardjono. Hal tersebut ditandai dengan munculnya tokoh Haryanto Dhanutirto sebagai orang kepercayaan BJ. Habibie di dalam kepengurusan DPP Golkar. Seperti kita ketahui BJ. Habibie saat itu merupakan Ketua Umum ICMI serta merupakan petinggi di Dewan Pembina Golkar; sebuah lembaga yang paling berpengaruh dan ditakuti di dalam struktur partai Golkar di era Orde Baru. Selain itu fenomena Ary Mardjono selaku Sekjen Golkar sangat berpengaruh signifikan terhadap hubungan kader Islam dan Nasionalis. Ary Mardjono, seorang Jenderal yang santri serta seorang politisi yang tekun menata satu persatu hal-hal yang terasa mengganjal seraya melakukan pembenahan terhadap keseimbangan hubungan kader Islam dan Nasionalis di dalam tubuh partai Golkar. Suasana ”keteduhan” yang dikondisikan Ary Mardjono selaku Sekjen dan motor Golkar pada saat itu ternyata membuat sebagian kecil tokoh dan kader Golkar yang merasa tidak nyaman mengundurkan diri dari Golkar dan ada pula yang pindah ke partai lain. Pada saat itu sangat dikenal istilah ”kader lompat pagar”.
Mereka yang pindah ke partai lain berpendapat bahwa Golkar sudah berubah dari warna aslinya. Padahal seperti kita ketahui bahwa Jacob Tobing dan juga Rahmat Witoelar merupakan tokoh muda Golkar pada saat Golkar dikomandoi oleh Sudharmono yang sangat berjasa dalam melaksanakan pengkaderan dan pemenangan Pemilu pada era itu, tanpa melupakan tokoh senior yang juga konseptor Golkar, AE Manihuruk. Peran Jacob dan Rahmat pada saat itu mengepalai Departemen paling bergengsi di dalam lingkup partai Golkar, yaitu Departemen OKK (Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi) Partai Golkar, pada saat Golkar dipimpin oleh Sudharmono.
Kepemimpinan partai Golkar di bawah komando Akbar Tandjung, juga mengalami berbagai tantangan seiring perubahan kepemimpinan nasional ke era reformasi. Pada era itu Golkar mengalami ujian yang cukup berat. Sejarah mencatat terpilihnya Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum Partai Golkar dalam sebuah perhelatan Munas Golkar berdampak pecahnya salah satu kubu yang kalah saat pemilihan Ketua Umum Partai Golkar saat itu dengan membentuk partai baru yaitu Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dengan tokohnya Edy Sudrajat dan Hayono Isman. Pada saat yang bersamaan ada pula tokoh muda Golkar yang tidak sejalan dengan Akbar Tandjung, yaitu Didiet Haryadi yang menyindir kepanjangan Akbar Tandjung menjadi ”Akan Bubar Tanpa Ujung”. Sebuah perumpamaan sinis yang memprediksi kehancuran Golkar jika Golkar dipimpin oleh seorang Akbar. Namun kapabilitas Akbar ternyata cukup mumpuni untuk melewati berbagai ujian sampai dengan kemenangan Golkar pada Pemilu Legislatif di tahun 2004 lalu. Pada perjalanan selanjutnya dalam pemilihan Ketua Umum Golkar, Akbar secara dramatis dikalahkan oleh Jusuf Kalla. Akbar mengalami kekalahan yang memilukan karena kader yang dijagokan untuk mendukungnya yaitu Agung Laksono, yang telah ”dijadikan” Akbar menjadi Ketua DPR RI ternyata berbelok arah mendukung Jusuf Kalla. Sebuah akrobat politik yang membuat Akbar Tandjung terpental dari hingar bingarnya panggung politik. Akbar kemudian membentuk The Akbar Tandjung Istitute, yang dikelola oleh pengamat politik, Dr. Alfan Alfian.
Seperti yang kita lihat pada uraian di atas, memang pada saat kepemimpinan Sudharmono, Harmoko dan Akbar Tandjung, Golkar pernah mengalami berbagai konflik yang ditandai dengan adanya berbagai faksi di dalam tubuh partai Golkar, namun konflik pada saat itu tidak serumit konflik yang terjadi pada kepemimpinan JK saat ini. Karena konstelasi politik saat ini, tikung menelikung politik di dalam tubuh Golkar setiap saat bisa saja terjadi, untuk menggapai sebuah kekuasaan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya tokoh ”super” dan dihormati di dalam tubuh partai Golkar.
Bagi JK, selaku Ketua Umum Partai Golkar, keberadaan faksi-faksi menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden dapat saja menjelma menjadi sebuah konflik yang pada akhirnya dapat merugikan Golkar secara keseluruhan pada pemilihan Presiden 2009 nanti. Dalam budaya organisasi, pengendalian konflik merupakan salah satu tugas pemimpin dalam kepemimpinannya. Efektivitas kepemimpinan seseorang dapat dinilai dari bagaimana ia mampu mengendalikan dan mengelola konflik. Nader and Todd, dalam The Disputing Process Law in Ten Societies menjelaskan bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: Bersabar (lumping), penghindaran (avoidance), kekerasan/paksaan (coercion), negosiasi (negotiation), konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), arbitrase dan peradilan. Walaupun kita berpendapat tingkat konflik yang terjadi di dalam tubuh partai Golkar belum separah seperti yang ada pada uraian Nader dan Tood tersebut di atas.
Kalau kita ikuti secara seksama, perjalanan politik Golkar dari waktu ke waktu dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan pendapat dan konflik kecil di dalam Golkar sesungguhnya kerap terjadi hampir disemua kepemimpinan Golkar. Maka hendaknya, pemimpin Golkar saat ini dapat berkonsultasi kepada tokoh-tokoh senior Golkar yang masih ada yang juga masih concern terhadap keberadaan Golkar, seperti Cosmas Batubara, Akbar Tandjung, Siswono Yudhohusodo dan lain-lain. Pikiran-pikiran mereka sangat dibutuhkan untuk meredakan konflik yang terjadi di dalam tubuh partai Golkar.
Pada sisi yang lain, pengalaman JK yang juga piawai ketika menengahi berbagai konflik yang terjadi di Aceh, Poso dan Ambon seharusnya dapat berimbas pada penanganan ”konflik” yang terjadi di dalam tubuh partai Golkar. JK dinilai banyak orang sangat piawai saat bernegosiasi menangani berbagai konflik yang pernah ada di dalam negeri. Untuk itu masyarakat masih menanti apa yang akan dilakukan oleh JK untuk menyatukan berbagai pandangan yang berbeda di dalam tubuh partai Golkar. Tidak sedikit orang yang mengapresiasi JK, ketika JK menyatakan dirinya siap untuk menjadi capres dari partai Golkar. Wartawan senior Kompas, Buddi Sambazy sangat berharap kepemimpinan JK dapat merangkul segala potensi yang ada di dalam elit partai Golkar sekaligus menjadi potensi kekuatan JK untuk bersaing dalam memperebutkan kursi presiden RI. Buddi Sambazy juga menilai sosok JK mempunyai kapasitas dan kemampuan untuk tampil menjadi Presiden RI.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tks telah mempublikasi tulisan di blogku ...
BalasHapustks telah mempublikasi tulisan di blogku ...
BalasHapus