Jumat, 30 April 2010

PEMBENTUKAN DASAR NEGARA INDONESIA




Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.

Mari kita mulai dengan kemajuanbahkan kemajuan besaryang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.

Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.

Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatanyang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmasterkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke meja hijaudan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih sakitâ, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.

Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinanditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNIterutama di laut dan di udarasedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.

Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batasnota bene juga tanpa pengawasan yang efektifbukan saja secara praktis telah mencaplokdemikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik. Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.

Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam mantra sekuler dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998 terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.

Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan alasan pembentukan dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah hilir yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?

Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal œlahirnya Pancasila Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.

Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.

Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.

Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini

Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai nasionalisme, islamisme, marxisme











Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah gotong royong dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, satu buat semua dan semua buat satuDengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.


Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945�?yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya�?–maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.

Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.

Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.

Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar