Jumat, 30 April 2010
Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional
Pendahuluan
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.
Mari kita mulai dengan kemajuan–bahkan kemajuan besar�?yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.
Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan–yang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas–terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu ‘dosa’ yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke ‘meja hijau’ dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih ‘sakit’, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan�?ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNI–terutama di laut dan di udara�?sedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas–nota bene juga tanpa pengawasan yang efektif�?bukan saja secara praktis telah ‘mencaplok’ demikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik.
 Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.Â
Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional–baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998�?terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.
Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara–seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945–merupakan alasan pembentukan (raison d’etre) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah ‘hilir’, yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal “lahirnya�? Pancasila–Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila�?tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato “Lahirnya Pancasila�? yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini?Â
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai ‘pembagi persekutuan yang terbesar’ (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme, islamisme, marxisme�?.
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila–yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royong�?–dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semua�? dan “semua buat satu�?. Dengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ‘ideologi terbuka’.
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945�?yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya�?–maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.
Hubungan antara Pancasila dengan Dua Tujuan Nasional dan Empat Tugas Pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau “melahirkan�? Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai “marxisme yang diterapkan di Indonesia�?, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap ‘pembaruan’ terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965–1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.
Adalah merupakan tantangan sejarah bagi gelombang demi gelombang negarawan serta cendekiawan Indonesia pasca peristiwa berdarah tersebut untuk merumuskan, meluruskan, dan menjabarkan Pancasila dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang organik, secara lebih historis, dinamis, konsisten dan koheren, sehingga dapat diwujudkan aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi raison d/’etre berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Upaya ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto. Dalam kurun pemerintahannya yang lumayan panjang, 1966/7–1998, secara bertahap Presiden Soeharto telah menyampaikan wawasannya tentang Pancasila, baik secara menyeluruh maupun untuk masing-masing sila. Posisi historis dari rangkaian wawasan Presiden Soeharto tentang Pancasila ini adalah selain ‘membenahi’ kesimpangsiuran ideologi yang terjadi selama kurun kepemerintahan Presiden Soekarno antara tahun 1959-1965, juga untuk memberi landasan ideologi untuk kebijakan pembangunan nasional, yang terkandung dalam Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengukuhkan rangkaian pemikiran Presiden Soeharto tentang Pancasila tersebut dalam sebuah ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang kemudian disosialisasikan oleh jajaran BP7, sampai kemudian dibekukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998. Sebuah badan yang direncanakan untuk mengganti BP7 Pusat dalam sosialisasi Pancasila tidak pernah diwujudkan sampai saat naskah ini ditulis.
Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang–yang pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan–adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran penulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.
Tawaran penulis ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara�?yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia�?dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara, pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah.
Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi manusia, penulis berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika�? dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma�?, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua�?. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia–apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini�?jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).
Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa an bernegara.
Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila
Penulis dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar–dan berat�?sekaligus, yaitu 1) memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan itu, dan 2) membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik.
Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan–yang nota bene sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara�?adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa Pancasila adalah “marxisme yang diterapkan di Indonesia�? telah menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan.
Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa Dan Negara Indonesia
Filasafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Setiapa bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup (filsafata hidup). Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana memecahkan persoalan-persoalan tadi. Tanpa memiliki pandangan hidup maka suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti akan timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri, maupun persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah polotik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.
Dalam pergaulan hidup itu terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnyta pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.
Kita merasa bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu kita, pendiri-pendiri Republik ini dat memuaskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita yang kemudian kita namakan Pancasila. Seperti yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita.
Disamping itu maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah beurat/berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia ini akan mencapai kebahagiaan jika kita dapat baik dalam hidup manusia sebagai manusia dengan alam dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniah.
Bangsa Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa datang yang secara keseluruhan membentuk kepribadian sendiri.
Sebab itu bnagsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan lahirnya bangsa dan negara itu, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara Pancasila. Karena itulah, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah berjuang, denga melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami dengan oleh gagasan-gagasan besar dunia., dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa kita dan gagasan besar bangsa kita sendiri.
Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam 3 buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila itu tetap tercantum didalamnya, Pancasila yang lalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional itu, Pancasila yang selalu menjadi pegangan bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negar, dikehendaki oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam dalam kalbunya rakyat. Oleh karena itu, ia juga merupakan dasasr yang mamapu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.
Sidang BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.
Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).
Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.
Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.
Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.
Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia
Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila Pancasila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.
Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonsia sendiri merupakan :
a. Dasar negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.
b. Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita serta memberi petunjuk dalam masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.
c. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
d. Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
e. Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.
Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita.
Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.
Akhirnya perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan mengenai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawratan / perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Seperti yang telah ditunjukkan oleh Ketetapan MPR No. XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.
HAK ASASI MANUSIA
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
IDE KONTEMPORER TENTANG HAK ASASI MANUSIA
1. PBB dan Hak Asasi Manusia
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan." 1 Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang. 2
Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu. 3
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -- komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut -- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama." 4
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah1angkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya." 5
Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -- suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas -- dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya -- namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu. 6
Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia. Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -- yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi -- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.
Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).
Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. 7 Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
IDE KONTEMPORER TENTANG HAK ASASI MANUSIA
1. PBB dan Hak Asasi Manusia
Ide tentang hak asasi manusia yang berlaku saat ini merupakan senyawa yang dimasak di kancah Perang Dunia II. Selama perang tersebut, dipandang dari segi apa pun akan terlihat bahwa satu aspek berbahaya dari pemerintahan Hitler adalah tiadanya perhatian terhadap kehidupan dan kebebasan manusia. Karenanya, perang melawan kekuatan Poros dibela dengan mudah dari segi perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan yang mendasar. Negara Sekutu menyatakan di dalam "Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa" (Declaration by United Nations) yang terbit pada 1 Januari 1942, bahwa kemenangan adalah "penting untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan." 1 Dalam pesan berikutnya yang ditujukan kepada Kongres, Presiden Franklin D. Roosevelt mengidentifikasikan empat kebebasan yang diupayakan untuk dipertahankan di dalam perang tersebut: kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, kebebasan dari hidup berkekurangan, dan kebebasan dari ketakutan akan perang. 2
Pembunuhan dan kerusakan dahsyat yang ditimbulkan Dunia II menggugah suatu kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu guna mencegah perang, untuk membangun sebuah organisasi internasional yang sanggup meredakan krisis internsional serta menyediakan suatu forum untuk diskusi dan mediasi. Organisasi ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa / PBB, yang telah memainkan peran utama dalam pengembangan pandangan kontemporer tentang hak asasi manusia.
Para pendiri PBB yakin bahwa pengurangan kemungkinan perang mensyaratkan adanya pencegahan atas pelanggaran besar-besaran terhadap hak-hak manusia. Lantaran keyakinan ini, konsepsi-konsepsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang paling awal pun bahkan sudah memasukkan peranan pengembangan hak asasi manusia dan kebebasan. Naskah awal Piagam PBB (1942 dan 1943) memuat ketentuan tentang hak asasi manusia yang harus dianut oleh negara manapun yang bergabung di dalam organisasi tersebut, namun sejumlah kesulitan muncul berkenaan dengan pemberlakuan ketentuan semacam itu. Lantaran mencemaskan prospek kedaulatan mereka, banyak negara bersedia untuk "mengembangkan" hak asasi manusia namun tidak bersedia "melindungi" hak itu. 3
Akhirnya diputuskan untuk memasukkan sedikit saja acuan tentang hak asasi manusia di dalam Piagam PBB (UN Charter), di samping menugaskan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) -- komisi yang dibentuk PBB berdasarkan sebuah ketetapan di dalam piagam tersebut -- untuk menulis sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia. Piagam itu sendiri menegaskan kembali "keyakinan akan hak asasi manusia yang mendasar, akan martabat dan harkat manusia, akan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan serta antara negara besar dan negara kecil." Para penandatangannya mengikrarkan diri untuk "melakukan aksi bersama dan terpisah dalam kerja sama dengan Organisasi ini "untuk memperjuangkan" penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan mendasar untuk seluruh manusia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama." 4
Komisi Hak Asasi Manusia mempersiapkan sebuah pernyataan internasional tentang hak asasi manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada tanggal 10 Desember 1948. Pernyataan ini, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights), diumumkan sebagai "suatu standar pencapaian yang berlaku umum untuk semua rakyat dan semua negara" Hak-hak yang disuarakannya disebarkan lewat "pengajaran dan pendidikan" serta lewat "langkah1angkah progresif, secara nasional dan internasional, guna menjamin pengakuan, dan kepatuhan yang bersifat universal dan efektif terhadapnya." 5
Dua puluh satu pasal pertama Deklarasi tersebut menampilkan hak-hak yang sama dengan yang terdapat di dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia (Bill of Rights) yang termaktub di dalam Konstitusi Amerika Serikat sebagaimana yang telah diperbarui saat ini. Hak-hak sipil dan politik ini meliputi hak atas perlindungan yang sama dan tidak pandang bulu, perlindungan hukum dalam proses peradilan, privasi dan integritas pribadi, serta partisipasi politik. Namun pasal 22 sampai 27 menciptakan kebiasaan baru. Pasal-pasal ini mengemukakan hak atas tunjangan ekonomi dan sosial seperti jaminan sosial -- suatu standar bagi kehidupan yang layak -- dan pendidikan. Hak-hak ini menegaskan bahwa, sesungguhnya, semua orang mempunyai hak atas pelayanan-pelayanan dari negara kesejahteraan.
Hak asasi manusia, sebagaimana yang dipahami di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia yang muncul pada abad kedua puluh seperti Deklarasi Universal, mempunyai sejumlah ciri menonjol. Pertama, supaya kita tidak kehilangan gagasan yang sudah tegas, hak asasi manusia adalah hak. Makna istilah ini tidak jelas -- dan akan menjadi salah satu obyek penelitian saya -- namun setidaknya kata tersebut menunjukkan bahwa itu adalah norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya bersifat wajib.
Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, hak asasi manusia dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung pada pengakuan dan penerapannya didalam sistem adat atau sistem hukum di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan hukumnya.
Keempat, hak asasi manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya bersifat absolut. Dengan demikian hak asasi manusia yang dipaparkan oleh Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie rights.
Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan terhadapnya. Pemerintah dan orang-orang yang berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang, kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu. 6
Akhirnya, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan merupakan problem hak asasi manusia. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan hak asasi manusia. Meski hak asasi manusia dianggap menetapkan standar minimal, deklarasi-deklarasi kontemporer tentang hak asasi manusia cenderung untuk mencantumkan hak dalam jumlah yang banyak dan bersifat khusus, dan bukannya sedikit serta bersifat umum. Deklarasi Universal menggantikan tiga hak umum yang diajukan oleh Locke -- yakni hak atas kehidupan, kebebasan, dan kekayaan pribadi -- dengan sekitar Hak Asasi Manusia dua lusin hak khusus. Di antara hak-hak sipil dan politik yang dicanangkan adalah hak untuk bebas dari diskriminasi; untuk memiliki kehidupan, kebebasan, dan keamanan; untuk bebas beragama; untuk bebas berpikir dan berekspresi; untuk bebas berkumpul dan berserikat; untuk bebas dari penganiayaan dan hukuman kejam; untuk menikmati kesamaan di hadapan hukum; untuk bebas dari penangkapan secara sewenang-wenang; untuk memperoleh peradilan yang adil; untuk mendapat perlindungan terhadap kehidupan pribadi (privasi); dan untuk bebas bergerak. Hak sosial dan ekonomi di dalam Deklarasi mencakup hak untuk menikah dan membentuk keluarga, untuk bebas dari perkawinan paksa, untuk memperoleh pendidikan, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk menikmati standar kehidupan yang layak, untuk istirahat dan bersenang-senang, serta untuk memperoleh jaminan selama sakit, cacat, atau tua.
Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah. "standar pencapaian yang bersifat umum," PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal (universal moral rights).
Turunan-turunan Deklarasi Universal tidak hanya meliputi pernyataan hak asasi manusia di dalam banyak konstitusi nasional melainkan juga sejumlah perjanjian internasional tentang hak asasi. Yang pertama dan barangkali yang paling berarti adalah Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (European Convention on Human Rights). Konvensi yang dicetuskan di Dewan Eropa (European Council) pada 1950 ini menjadi sistem yang paling berhasil yang dibentuk demi penegakan hak asasi manusia. 7 Konvensi ini menyebutkan hak-hak yang kurang lebih serupa dengan yang terdapat di dalam dua puluh satu pasal pertama Deklarasi Universal. Konvensi tersebut tidak memuat hak ekonomi dan hak sosial; hak-hak ini dialihkan ke dalam Perjanjian Sosial Eropa (European Social Covenant), dokumen yang mengikat para penandatangannya untuk mengangkat soal penyediaan berbagai tunjangan ekonomi dan sosial sebagai tujuan penting pemerintah.
PEMBENTUKAN DASAR NEGARA INDONESIA
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.
Mari kita mulai dengan kemajuanbahkan kemajuan besaryang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.
Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatanyang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmasterkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke meja hijaudan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih sakitâ, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinanditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNIterutama di laut dan di udarasedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batasnota bene juga tanpa pengawasan yang efektifbukan saja secara praktis telah mencaplokdemikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik. Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.
Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam mantra sekuler dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998 terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.
Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan alasan pembentukan dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah hilir yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar mantra sekuler dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal œlahirnya Pancasila Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato Lahirnya Pancasila yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai pembagi persekutuan yang terbesar (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai nasionalisme, islamisme, marxisme
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah gotong royong dimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, satu buat semua dan semua buat satuDengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka.
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945�?yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya�?–maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.
Pembentukan Dasar Negara Indonesia Yakni Pancasila
Sejarah Lahirnya Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara
Ideologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah Pancasila dijadikan ideologi atau dasar negara coba baca teks Proklamasi berikut ini.
Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik.
Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.
Mari kita mulai dengan kemajuan–bahkan kemajuan besar�?yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.
Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan–yang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas–terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu ‘dosa’ yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke ‘meja hijau’ dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih ‘sakit’, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan�?ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNI–terutama di laut dan di udara�?sedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas–nota bene juga tanpa pengawasan yang efektif�?bukan saja secara praktis telah ‘mencaplok’ demikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik.
 Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.Â
Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional–baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998�?terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.
Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara–seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945–merupakan alasan pembentukan (raison d’etre) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah ‘hilir’, yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal “lahirnya�? Pancasila–Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila�?tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato “Lahirnya Pancasila�? yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini?Â
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai ‘pembagi persekutuan yang terbesar’ (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai œnasionalisme, islamisme, marxisme
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila–yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royongdimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semuadan “semua buat satuDengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyamaka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.
Hubungan antara Pancasila dengan Dua Tujuan Nasional dan Empat Tugas Pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau “melahirkan�? Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai “marxisme yang diterapkan di Indonesia�?, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap ‘pembaruan’ terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965–1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.
Adalah merupakan tantangan sejarah bagi gelombang demi gelombang negarawan serta cendekiawan Indonesia pasca peristiwa berdarah tersebut untuk merumuskan, meluruskan, dan menjabarkan Pancasila dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang organik, secara lebih historis, dinamis, konsisten dan koheren, sehingga dapat diwujudkan aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi raison d/’etre berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Upaya ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto. Dalam kurun pemerintahannya yang lumayan panjang, 1966/7–1998, secara bertahap Presiden Soeharto telah menyampaikan wawasannya tentang Pancasila, baik secara menyeluruh maupun untuk masing-masing sila. Posisi historis dari rangkaian wawasan Presiden Soeharto tentang Pancasila ini adalah selain ‘membenahi’ kesimpangsiuran ideologi yang terjadi selama kurun kepemerintahan Presiden Soekarno antara tahun 1959-1965, juga untuk memberi landasan ideologi untuk kebijakan pembangunan nasional, yang terkandung dalam Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengukuhkan rangkaian pemikiran Presiden Soeharto tentang Pancasila tersebut dalam sebuah ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang kemudian disosialisasikan oleh jajaran BP7, sampai kemudian dibekukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998. Sebuah badan yang direncanakan untuk mengganti BP7 Pusat dalam sosialisasi Pancasila tidak pernah diwujudkan sampai saat naskah ini ditulis.
Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang–yang pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan–adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran penulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.
Tawaran penulis ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara�?yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia�?dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara, pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah.
Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi manusia, penulis berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika�? dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma�?, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua�?. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia–apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini�?jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).
Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa an bernegara.
Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila
Penulis dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar–dan berat�?sekaligus, yaitu 1) memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan itu, dan 2) membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik.
Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan–yang nota bene sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara�?adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa Pancasila adalah “marxisme yang diterapkan di Indonesia�? telah menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan.
Ideologi dan dasar negara kita adalah Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusayawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah Pancasila dijadikan ideologi atau dasar negara coba baca teks Proklamasi berikut ini.
Sebelum tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia belum merdeka. Bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa lain. Banyak bangsa-bangsa lain yang menjajah atau berkuasa di Indonesia, misalnya bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Paling lama menjajah adalah bangsa Belanda. Padahal sebelum kedatangan penjajah bangsa asing tersebut, di wilayah negara RI terdapat kerajaan-kerajaan besar yang merdeka, misalnya Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Ternate, dan Tidore. Terhadap penjajahan tersebut, bangsa Indonesia selalu melakukan perlawanan dalam bentuk perjuangan bersenjata maupun politik.
Perjuangan bersenjata bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah, dalam hal ini Belanda, sampai dengan tahun 1908 boleh dikatakan selalu mengalami kegagalan.
Penjajahan Belanda berakhir pada tahun 1942, tepatnya tanggal 8 Maret. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh bala tentara Jepang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia. Mulai tahun 1944, tentara Jepang mulai kalah dalam melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari. Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 - 1 Juni 1945. Dalam sidang pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1) mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang. Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan, ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha Esa”. Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana Melaksanakan Pancasila Sebagai Dasar Negara Melalui Paradigma Fungsional
Baik disadari atau tidak, dan baik diakui atau tidak, bersamaan dengan demikian banyak perbaikan yang dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional sejak tahun 1998, juga muncul berbagai kemunduran dalam berbagai bidang, yang dapat menyebabkan kita bertanya-tanya kepada diri kita sendiri: hendak kemanakah Republik ini hendak dibawa? Beberapa contoh kemajuan dan kemunduran dapat disebutkan sebagai berikut.
Mari kita mulai dengan kemajuan–bahkan kemajuan besar�?yang telah dibawa oleh gerakan Reformasi Nasional. Seperti juga halnya Orde Baru telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Lama, gerakan Reformasi Nasional telah mengoreksi demikian banyak kelemahan Orde Baru, terutama dalam penghormatan dan perlindungan terhadap hak sipil dan politik. Secara umum Republik Indonesia pasca 1998 terkesan memang lebih terbuka dan lebih demokratis. Hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan telah terwujud hampir secara penuh. Pers dan media massa Indonesia termasuk pers dan media massa yang paling bebas di Asia Tenggara. Partai politik boleh didirikan kapan saja dan seberapa pun banyaknya. Pemberontakan bersenjata di daerah Aceh telah diakhiri dan suatu pemerintahan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat Aceh terbentuk, walaupun dengan bantuan mediasi oleh seorang mantan Presiden Finlandia. Rangkaian pemilihan umum telah berlangsung secara langsung, umum, bersih, jujur, dan adil seperti sudah lama didambakan. TNI dan Polri telah dikembalikan pada missi dan fungsi pokoknya, dan seiring dengan itu tidak ada lagi fraksi TNI dan Polri di lembaga-lembaga legislatif.
Namun, di luar atau di samping kemajuan besar dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak sipil dan politik tersebut juga terlihat stagnasi, bahkan kemandegan, terutama dalam penghormatan, perlindungan, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya rakyat Indonesia.
Secara umum, Indonesia terasa masih belum mampu keluar dari suasana krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997, satu dasawarsa yang lalu. Jumlah mereka yang hidup dalam kemiskinan masih tetap tinggi. Fasilitas pendidikan serta pelayanan kesehatan–yang pernah demikian baik dan murah dilakukan melalui rangkaian sekolah-sekolah SD inpres dan puskesmas–terkesan amat merosot. Lumayan banyak pengusaha asing yang sudah menanam modalnya di Indonesia kemudian memindahkan lokasi investasinya ke negara-negara tetangga yang dipandang kondisinya lebih kondusif. Korupsi, yang bersama dengan kolusi dan nepotisme dipandang merupakan salah satu ‘dosa’ yang diwariskan Orde Baru, bukannya berkurang, tapi malah meningkat, terutama di tingkat daerah. Berbondong-bondong gubernur, bupati, walikota, dan para anggota dewan perwakilan daerah yang dihadapkan ke ‘meja hijau’ dan dijatuhi hukuman, yang hebatnya, tidak jarang selain mencoba mengelak dengan dalih ‘sakit’, juga mampu tampil di depan publik dengan wajah bagaikan tak bersalah, yang kadang kala bahkan dengan penuh senyum.
Dalam kehidupan politik, terlihat kesan kuat bahwa telah timbul apa yang pernah disebut dan dikhawatirkan oleh dr Mohammad Hatta sebagai suatu ultra demokrasi. Walaupun lembaga legislatif serta lembaga eksekutif telah dipilih secara demokratis, namun demonstrasi ke jalan-jalan bukan saja tidak berhenti, tetapi sudah menjadi suatu hal yang terjadi secara rutin. Tiada hari tanpa demonstrasi. Partai-partai politik–yang seyogyanya berfungsi sebagai lembaga demokrasi yang mengagregasi serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat serta sebagai wahana untuk seleksi kepemimpinan�?ditengarai hanya asyik dengan dirinya sendiri dan telah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Pemekaran daerah-daerah otonom yang berlanjut secara terus-menerus serta penyerahan tugas dan wewenang otonomi yang luas ke daerah tingkat dua terkesan hanya menimbulkan pembengkakan lembaga, penambahan jumlah pejabat serta dukungan fasilitasnya, serta peningkatan anggaran pengeluaran tanpa makna yang signifikan bagi peningkatan taraf hidup rakyat. Di antara para pejabat negara yang baru ini tidak terhitung banyaknya yang berusaha menduduki jabatannya dengan cara memalsu ijazah dan membeli suara dengan satu dan lain cara. Kekuatan TNI–terutama di laut dan di udara�?sedemikian lemahnya, sehingga bukan saja dilecehkan oleh pesawat-pesawat tempur US Navy yang pernah terbang tanpa izin melintasi wilayah teritorial Republik Indonesia, tetapi juga oleh kapal-kapal perang kecil kerajaan Malaysia di perairan Ambalat yang dipersengketakan. Selain itu, jajaran Polri bagaikan tanpa daya menghadapi maraknya illegal logging dan illegal fishing yang terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia.
Bersamaan dengan itu, pemberian izin hak pengusahaan hutan dan hak guna usaha yang bagaikan tanpa batas–nota bene juga tanpa pengawasan yang efektif�?bukan saja secara praktis telah ‘mencaplok’ demikian luas hak ulayat masyarakat adat tanpa ganti rugi satu senpun, tetapi juga telah mengakibatkan penggundulan hutan, yang berakibat terjadinya bencana alam secara beruntun berupa banjir dan tanah longsor. Dalam menangani rangkaian bencana alam ini, dengan tetap menghargai kerja keras pemerintah selama ini, namun sukar dihindari kesan bahwa penanggulangannya lebih banyak dilakukan secara ad hoc. Syukur bahwa akhirnya DPR RI mengesahkan suatu Undang-undang tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur masalah ini secara lebih komprehensif. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan anggaran pendapatan dan belanja tahunan, tanpa berpikir panjang Pemerintah telah menjual kepada pihak asing badan-badan usaha milik negara yang sangat menguntungkan, seperti Indosat dan PT Semen Gresik.
 Kemunduran yang terasa paling mendasar selama era Reformasi Nasional adalah merosotnya peran Pancasila sebagai Dasar Negara, dalam arti bahwa secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma hukum nasional serta kebijakan pemerintahan yang seyogyanya menindaklanjutinya.Â
Sudah barang tentu, frasa Pancasila secara formal hampir selalu disebut sebagai rujukan dalam dokumen-dokumen negara. Namun terlihat jelas bahwa Pancasila yang secara formal dijadikan rujukan tersebut sekarang terasa bagaikan tanpa jiwa, tanpa makna, tanpa substansi, dan praktis tanpa manfaat bagi Rakyat Indonesia. Pancasila telah diredusir dari posisi semula sebagai Dasar Negara yang disepakati sebagai suatu kontrak politik di antara para Pendiri Negara menjadi sekedar semacam ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam posisi yang telah diredusir ini, hampir keseluruhan kebijakan nasional–baik yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam demikian banyak keputusan pemerintahan yang diambil sejak tahun 1998�?terasa demikian dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pragmatis berjangka pendek, tanpa idealisme, tanpa filsafat, tanpa ideologi, dan tidak jarang juga tanpa moral.
Tidak ayal lagi, kemerosotan peran Pancasila sebagai Dasar Negara ini secara historis dan secara yuridis konstitusional dapat dipandang sebagai ancaman paling besar terhadap keseluruhan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kita lupakan, bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara–seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945–merupakan alasan pembentukan (raison d’etre) dan landasan legitimasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ringkasnya, tanpa Pancasila tidak akan ada Republik Indonesia.
Namun, juga harus diakui bahwa tidaklah mudah menjabarkan serta menindaklanjuti Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut. Ada tiga hal yang menyebabkan kesukaran penjabaran Pancasila itu. Pertama, oleh karena selama ini elaborasi tentang Pancasila itu bukan saja cenderung ‘dibawa ke hulu’, yaitu ke tataran filsafat, bahkan ke tataran metafisika dan agama yang lumayan abstrak dan sukar dicarikan titik temunya. Kedua, oleh karena terdapat kesimpangsiuran serta kebingungan tentang apa sesungguhnya core value dari lima sila Pancasila itu. Ketiga, justru oleh karena memang tidak demikian banyak perhatian diberikan kepada bagaimana cara melaksanakan Pancasila sebagai Dasar Negara tersebut secara fungsional ke arah ‘hilir’, yaitu ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makalah ini merupakan suatu upaya awal yang sederhana ke arah pengembangan suatu paradigma yang lebih fungsional terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, dengan harapan agar Pancasila tidak lagi menjadi sekedar ‘mantra sekuler’ dalam ritual kehidupan bernegara, tetapi benar-benar dapat ditindaklanjuti ke dalam kebijakan nasional oleh dan dalam sistem nasional Indonesia.
Apakah Sesungguhnya Pancasila Itu?
Adalah merupakan suatu fakta historis yang sukar dibantah, bahwa sebelum tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai tanggal “lahirnya�? Pancasila–Ir. Soekarno yang diakui sebagai tokoh nasional yang menggali Pancasila�?tidak pernah berbicara atau menulis tentang Pancasila, baik sebagai pandangan hidup maupun, atau apalagi, sebagai dasar negara. Dalam pidato yang beliau sampaikan tanpa konsep pada tanggal tersebut, yang mendapat berkali-kali applause dari para anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), beliau menjelaskan bahwa gagasan tentang Pancasila tersebut terbersit bagaikan ilham setelah mengadakan renungan pada malam sebelumnya. Renungan itu beliau lakukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat, Ketua BPUPKI, tentang apa dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Lima dasar atau sila yang beliau ajukan itu beliau namakan sebagai filosofische grondslag.
Jika filsafat bisa disifatkan sebagai upaya dan hasil berfikir secara mendasar, logis, kritis, sistematis, komprehensif, konsisten, dan koheren, lazimnya suatu pemikiran filsafat merupakan buah dari proses berfikir yang tekun dan berjangka panjang. Sungguh merupakan suatu contradictio in terminis jika pidato singkat yang penuh retorika tersebut dipandang sebagai suatu pemikiran yang sudah memenuhi kriteria berpikir filsafati, apalagi jika kita ingat bahwa sampai berakhirnya masa jabatan kepresidenan beliau pada tahun 1967, belum satu kalipun Ir. Soekarno menyusun naskah tentang Pancasila yang memenuhi persyaratan epistemologi filsafat. Semuanya berbentuk pidato, sehingga sangat rentan terhadap pengaruh situasional sewaktu pidato tersebut disampaikan dan terhadap jenis audience yang dihadapi beliau.
Akan lebih masuk akal jika retorika Ir. Soekarno tersebut dibaca sebagai kristalisasi dari keseluruhan pemikiran politik yang berkembang dalam perjuangannya, bersama dengan seluruh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, bukan hanya untuk mendirikan suatu negara yang bebas darti penjajahan, tetapi juga untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Jelasnya, relevansi pidato “Lahirnya Pancasila�? yang bersejarah tersebut akan lebih jernih, jika dibaca dalam kaitannya dengan perjuangan panjang bangsa Indonesia secara menyeluruh, dan bukan sekedar sebagai wujud kepiawaian sesaat dari seorang orator dalam meyakinkan rekan-rekannya yang sedang bergulat dengan kompleksitas masalah mendirikan suatu negara baru pada babak akhir Perang Dunia Kedua. Dengan kata lain, Pancasila sebagai suatu formulasi dasar negara perlu kita pahami secara historis, filosofis, kontekstual, dan juga secara politis dan institusional, bukan hanya secara tekstual dan juga bukan hanya secara personal belaka.
Kalau begitu, lantas apa sesungguhnya dan bagaimana mensifatkan esensi substansi, maksud perumusan, sifat, status, serta kegunaan Pancasila yang diterima dengan demikian gegap gempita oleh seluruh founding fathers negara kesatuan Republik Indonesia ini?Â
Mengenai esensi substansinya, kita mungkin dapat menerima penjelasan Ir. Soekarno sendiri, bahwa sila-sila Pancasila itu beliau gali dari kehidupan rakyat Indonesia sendiri, dan sebagai insinyur, menuangkan rumusannya ke dalam istilah aritmetik sebagai ‘pembagi persekutuan yang terbesar’ (grooste gemene deler) yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Pensifatan ini secara konseptual merupakan suatu langkah maju, karena pada tahun 1926, beliau baru sampai pada kesimpulan tentang adanya tiga aliran yang terdapat bersisian dalam masyarakat Indonesia, yang beliau sebut sebagai œnasionalisme, islamisme, marxisme
Tentang maksud perumusannya, selain sebagai jawaban terhadap pertanyaan Dr. Radjiman Wedyodiningrat, Soekarno sendiri menjelaskan bahwa Pancasila–yang bisa diperas menjadi Trisila, dan Trisila bisa diperas lagi menjadi Ekasila, dan esensi Ekasila itu sendiri adalah “gotong royongdimaksudkan sebagai dasar untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam satu negara yang mendiami seluruh kepulauan Indonesia, “satu buat semuadan “semua buat satuDengan kata lain, walaupun Ir. Soekarno sudah menyebutkan Pancasila sebagai filosofische grondslag dalam pidatonya pada tahun 1945, namun Pancasila pada saat itu sesungguhnya baru merupakan prasaran awal dari seorang tokoh perjuangan kemerdekaan, yang memuat tawaran pokok-pokok doktrin politik (political doctrine), tentang hubungan antara rakyat dan pemerintah dalam konteks kenegaraan. Prasaran ini mengalami penyempurnaan oleh Panitia Sembilan yang juga dipimpin oleh Ir. Soekarno, khususnya dalam penamaan dan urutan sila-silanya, sebelum akhirnya tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pancasila jelas lahir sebagai hasil dari suatu intellectual exercise dari Ir. Soekarno, namun masih diperlukan rangkaian panjang elaborasi yang lebih mendalam, lebih kritis, lebih sistematis, lebih komprehensif, lebih konsisten dan lebih koheren, sebelum Pancasila benar-benar dapat disebut sebagai sebuah filosofi kenegaraan. Langkah ke arah itu sudah dirintis oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dari Universitas Gadjah Mada, yang kemudian disusul oleh rangkaian renungan dari para cendekiawan Indonesia lainnya. Mungkin tidak akan berkelebihan jika dikatakan bahwa sesungguhnya sampai sekarangpun Pancasila belum sepenuhnya dapat disebut sebagai sebuah filsafat politik, antara lain oleh karena belum terdapat koherensi dan konsistensi dari lima sila Pancasila, yang masing-masingnya bukan saja merupakan kategori yang berbeda satu sama lain, tetapi juga belum jelas bagaimana keterkaitannya satu sama lain. Pancasila juga belum dapat sepenuhnya disebut sebagai ideologi seperti dimaksud oleh Edward Shils, karena belum dapat dijernihkan apa sesungguhnya core value dari Pancasila, sehingga dalam tahun-tahun kemudian Pancasila harus diberi kualifikasi sebagai suatu ideologi terbuka
Tentang sifat dan status Pancasila, jika kita hubungkan dengan himbauan yang amat emosional yang disampaikan Ir. Soekarno kepada sidang-sidang BPUPKI agar para anggota BPUPKI menerima kompromi yang terdapat dalam rumusan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tanggal 22 Juni 1945yang mencantumkan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyamaka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa secara historis Pancasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah merupakan butir-butir political contract, atau lebih tepat merupakan suatu konsensus nasional tentang dasar negara, dari para pemimpin perjuangan rakyat Indonesia dalam proses pembentukan negara.
Bagaimana cara melaksanakan Pancasila dalam kaitannya dengan empat tugas pemerintah dan dua tujuan nasional untuk terwujudnya suatu masyarakat yang adil dan makmur sebagai tujuan nasional masih harus dikembangkan dalam ideologi nasional, yang bersifat terbuka, yaitu dibahas, disepakati, serta dilaksanakan berdasar rangkaian konsensus nasional dari seluruh komponen bangsa Indonesia yang besar.
Dengan demikian, walau bermula sebagai suatu retorika seorang orator besar, Pancasila berkembang sebagai dasar negara dengan kesepakatan kolektif dan institusional para pendiri negara, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan ideologi terbuka yang berkembang secara terus menerus.
Sehubungan dengan itu, baik secara historis maupun secara ideologis dan politis, Pancasila tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari keterkaitannya dengan keseluruhan substansi dan proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta pasal-pasal yang tercantum dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Demikianlah, lima sila Pancasila dalam alinea keempat itu harus terkait langsung dengan empat tugas Pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keseluruhannya itu berlangsung dalam suatu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, seperti tercantum dalam alinea kedua Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, lima dasar negara yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Visualisasinya adalah sebagai berikut.
Hubungan antara Pancasila dengan Dua Tujuan Nasional dan Empat Tugas Pemerintah dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Interpretasi historis terhadap Pancasila juga harus tetap merujuk kepada seluruh pembicaraan para Pendiri Negara, baik dalam BPUPKI maupun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang merupakan travaux preparatoir dari Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, implementasi kenegaraan dari Pancasila sebagai kontrak politik dan atau sebagai konsensus nasional dalam pembentukan negara harus tetap tertuang melalui pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 serta dalam undang-undang organik yang melaksanakan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Sebagai kesepakatan kolektif bangsa Indonesia yang dituangkan ke dalam konstitusi dan ditindaklanjuti secara berkesimbungan oleh seluruh jajaran Pemerintah, Pancasila perlu dipahami secara dinamis. Tidaklah dapat dihindari, bahwa walaupun rumusan dasar Pancasila dan empat tugas Pemerintah dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak akan diubah lagi, namun akan terdapat dinamika dalam penjabarannya oleh gelombang demi gelombang administrasi kepresidenan yang melaksanakannya. Kontrak politik dan atau konsensus nasional pertama yang amat mendasar tersebut juga harus dilaksanakan melalui rangkaian konsensus nasional berikutnya secara berkelanjutan.
Dalam hubungan ini, satu dua catatan perlu disampaikan terhadap perkembangan pemikiran Ir. Soekarno setelah beliau “melahirkan�? Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Ir. Soekarno menyampaikan penjelasan lanjut mengenai Pancasila ini, baik di dalam negeri maupun dalam berbagai fora internasional, baik secara selintas maupun secara lebih elaborate. Dalam era Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung sejak tahun 1948 sampai tahun 1989, secara perlahan-lahan retorika Ir. Soekarno semakin lama semakin cenderung kepada Blok Timur, sehingga beliau pernah menyifatkan Pancasila sebagai “marxisme yang diterapkan di Indonesia�?, suatu frasa yang tidak pernah diucapkannya pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam gelombang reaksi keras dari masyarakat yang timbul kemudian terhadap ‘pembaruan’ terhadap Pancasila ini, Ir. Soekarno kehilangan kepresidenannya pasca terjadinya peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia antara tahun 1965–1967. Ringkasnya, setelah dua puluh tahun, 1945-1965, Pancasila sebagai Dasar Negara telah menjadi miliknya bangsa Indonesia, dan tidak lagi menjadi copyright Soekarno secara pribadi. Walaupun merupakan tragedi bagi Ir Soekano sebagai politikus, namun fakta ini telah memberi tempat yang abadi kepada Ir. Soekarno sebagai negarawan yang sekaligus menjadi Bapak Bangsa.
Adalah merupakan tantangan sejarah bagi gelombang demi gelombang negarawan serta cendekiawan Indonesia pasca peristiwa berdarah tersebut untuk merumuskan, meluruskan, dan menjabarkan Pancasila dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam undang-undang organik, secara lebih historis, dinamis, konsisten dan koheren, sehingga dapat diwujudkan aspirasi dan kepentingan rakyat Indonesia yang menjadi raison d/’etre berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia ini.
Upaya ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh Presiden Soeharto. Dalam kurun pemerintahannya yang lumayan panjang, 1966/7–1998, secara bertahap Presiden Soeharto telah menyampaikan wawasannya tentang Pancasila, baik secara menyeluruh maupun untuk masing-masing sila. Posisi historis dari rangkaian wawasan Presiden Soeharto tentang Pancasila ini adalah selain ‘membenahi’ kesimpangsiuran ideologi yang terjadi selama kurun kepemerintahan Presiden Soekarno antara tahun 1959-1965, juga untuk memberi landasan ideologi untuk kebijakan pembangunan nasional, yang terkandung dalam Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang mantap dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dalam tahun 1978 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengukuhkan rangkaian pemikiran Presiden Soeharto tentang Pancasila tersebut dalam sebuah ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang kemudian disosialisasikan oleh jajaran BP7, sampai kemudian dibekukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1998. Sebuah badan yang direncanakan untuk mengganti BP7 Pusat dalam sosialisasi Pancasila tidak pernah diwujudkan sampai saat naskah ini ditulis.
Sebuah Reinterpretasi serta Rekonstruksi terhadap Pancasila
Suatu tantangan sejarah yang dihadapkan kepada generasi sekarang–yang pada suatu sisi masih tetap merujuk kepada Pancasila sebagai dasar negara tetapi pada sisi yang lain masih kebingungan untuk menjabarkan serta mewujudkannya secara sistematis serta melembaga ke dalam kenyataan–adalah mengadakan reinterpretasi serta rekonstruksi, baik terhadap substansi masing-masing sila, maupun terhadap keterkaitan antara satu sila dengan sila yang lain dalam Pancasila. Berikut ini adalah suatu tawaran penulis, menjelang munculnya tawaran-tawaran lain yang lebih sempurna.
Tawaran penulis ini bertitik tolak dari visi bahwa pada dasarnya Pancasila adalah suatu kontrak politik dan atau konsensus nasional di antara para pendiri negara�?yang secara simbolik merepresentasikan kemajemukan seluruh rakyat Indonesia�?dalam proses pembentukan sebuah negara nasional di Indonesia, yang memuat norma-norma dasar (Grundnorm) tentang kemerdekaan, tujuan negara, pernyataan kemerdekaan hubungan antara unsur-unsur negara, khususnya hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yang diikat oleh lima butir dasar negara serta empat tugas pokok pemerintah.
Sesuai dengan asas negara hukum, Grundnorm ini harus dijabarkan secara konsisten dan koheren ke dalam konstitusi, ditindaklanjuti dalam undang-undang serta kebijakan pemerintahan, dan dilaksanakan oleh seluruh aparatur penyelenggara negara di bawah pimpinan presiden. Sesuai dengan azas kedaulatan rakyat, dalam penjabaran, penindaklanjutan serta pelaksanaannya, seluruh kalangan dan lapisan rakyat Indonesia, baik yang hidup di kota-kota maupun yang tinggal di desa-desa yang jauh, berhak untuk ikut serta dan didengar suara, aspirasi, dan kepentingannya, dalam pola free, prior, and informed consent (FPIC). Rakyat Indonesia tidak boleh lagi diperlakukan sebagai sekedar obyek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sesuai dengan titik tolak di atas, dan setelah benar-benar merenungkan substansi serta fungsi masing-masing sila, dan mengaitkannya dengan perkembangan pemikiran kenegaraan dewasa ini, termasuk tentang hak asasi manusia, penulis berkesimpulan bahwa kita dapat menindaklanjuti Pancasila tersebut secara kelembagaan dan secara operasional dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai berikut.
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa lima sila Pancasila tersebut tidaklah berada dalam satu kategori yang sama. Seperti dijelaskan Soekarno, sila Ketuhanan yang Maha Esa, yang semula ditempatkannya dalam urutan terakhir, sesungguhnya adalah pengakuan, recognition, dari Negara bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang ber-Tuhan, yang secara konstitusional diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam terminologi instrumen hak asasi manusia dewasa ini, substansi sila pertama ini disifatkan sebagai non derogable rights (hak asasi yang tidak dapat dikurangi kapanpun, oleh siapapun, dan dalam keadaan apapun). Negara bukan saja tidak dapat dan tidak boleh mencampuri hak atas kebebasan berama, tetapi juga harus melindungi seluruh rakyatnya, apapun agama dan kepercayaan yang dianutnya, tanpa melakukan diskriminasi apapun juga.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dapat dipahami sebagai pengakuan, perlindungan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia, yang menurut Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa diartikan sebagai common standards of achievements for all peoples and all nations, sebagai tolok ukur kinerja bersama [yang harus diwujudkan] oleh seluruh manusia dan seluruh bangsa-bangsa. Sebagai konsekuensinya, seluruh rakyat serta seluruh penyelenggara negara bukan saja harus memahami secara utuh seluruh instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia, tetapi juga secara pro aktif menindaklanjutinya dalam bidangnya masing-masing. Sekedar sebagai catatan dapat disampaikan, bahwa instrumen hukum internasional serta instrumen hukum nasional hak asasi manusia yang sudah dimiliki oleh Republik Indonesia sudah relatif cukup banyak, sehingga pada dasarnya tidak akan banyak ditemui kesulitan dalam penegakannya, terlebih-lebih oleh karena sejak tahun 1993 telah dibentuk sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Persatuan Indonesia, bukan saja perlu dipahami sebagai konfirmasi terhadap semangat Hari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945, tetapi juga sebagai formulasi dari semangat kebangsaan (nasionalisme), yang ingin membangun masa depan bersama dalam suatu negara, apapun bentuk serta sistem pemerintahannya. Indonesia pernah menguji coba bentuk negara kesatuan atau bentuk negara federal, sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan parlementer, tatanan yang amat sentralistik atau tatanan yang sangat didesentralisasikan. Bentuk kerajaan serta sistem pemerintahan feodalistis telah ditolak oleh para Pendiri Negara sejak taraf yang paling awal. Dewasa ini disepakati bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diubah lagi.
Dalam hubungan dengan kemajemukan rakyat Indonesia, pada tahun 1950-an, Republik Indonesia telah memilih sesanti “Bhinneka Tunggal Ika�? dalam Lambang Negara, suatu penggalan dari kalimat yang berasal dari seloka Mpu Prapanca dalam karangannya “Sutasoma�?, yang artinya: “walau berbeda-beda namun tetap satu jua�?. Frasa ini sekarang tercantum dalam Pasal 36A Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu dikaitkan dengan keberadaan 1.072 etnik di Indonesia, menurut Sensus Tahun 2000 (Suryadinata, 2003). Secara implisit, pengakuan terhadap kemajemukan etnik, agama, serta ras ini juga berarti pengakuan terhadap demikian banyak masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap, indigenous peoples) serta haknya atas tanah ulayat, yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan jelas merujuk pada proses dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam negara, yang bersifat demokratis. Asumsi paling dasar dari sila ini adalah bahwa sebagai kekuasaan tertinggi di dalam negara, kedaulatan adalah milik seluruh Rakyat Indonesia, yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum berkala. Mereka yang mendapatkan kepercayaan para pemilih dalam pemilihan umum tersebut berperan sebagai pemegang amanah (trustee) dari seluruh rakyat, yang harus melaksanakan amanah tersebut sejujur-sejujurnya dan seadil-adilnya sesuai dengan sumpah jabatan yang diucapkannya. Dalam instrumen hukum internasional serta hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ini dijamin dalam hak sipil dan hak politik, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (1966) yang telah diratifikasi sebagai Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik, dengan catatan bahwa Republik Indonesia mengadakan reservasi terhadap hak menentukan nasib sendiri yang tercantum dalam Pasal 1 Kovenan tersebut, yang bisa disalahartikan sebagai hak untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia–apapun makna filsafati yang terkandung dalam frasa ini�?jelas merupakan tujuan yang harus dicapai serta benchmark untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan kinerja seluruh aparatur penyelenggara negara yang dipimpin oleh Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik oleh cabang legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Dalam hukum internasional dan hukum nasional hak asasi manusia, hak rakyat untuk memperoleh keadilan sosial ini tercantum dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang pokok-pokoknya tercantum dalam The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966), yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam The UN Declaration on the Rights to Development (1986), Limburg Principles on the Implementation of Economic, Social, and Cultural Rights (1986), dan The Maastrich Guidelines on the Violations of Economic, Social, and Cultural Rights (1997).
Dengan kata lain, dewasa ini Republik Indonesia sudah mempunyai demikian banyak perangkat lunak, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang hukum, yang dapat dimanfaatkan secara sistematis dan formal untuk menindaklanjuti Pancasila itu ke dalam kehidupan berbangsa an bernegara.
Masalah Keterkaitan antara Sila-sila Pancasila
Penulis dapat memahami betapa beratnya tugas sejarah yang diemban Ir. Soekarno sebagai salah seorang nation-and state-builder pada bangsa yang bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia. Beliau harus mengemban dua tugas besar–dan berat�?sekaligus, yaitu 1) memberikan pegangan ideologis yang bersifat inklusif, yang selain dapat memberi tempat kepada kemajemukan masyarakat juga mampu membangun suatu semangat kebersamaan yang mengatasi kemajemukan itu, dan 2) membangun suatu struktur negara modern dengan merumuskan dasar negara yang bisa diterima seluruh kalangan dan lapisan. Masalah seperti itu kelihatannya tidak dihadapi oleh para nation builders dari rakyat yang secara historis dan kultural relatif homogen sehingga bisa merujuk pada filsafat atau ideologi politik yang sudah lama hidup dalam rakyat yang dipimpinnya. Dalam hal ini Ir. Soekarno harus membangun bangsa dan negara practically from scratch. Tidaklah mengherankan bahwa di sana sini akan terdapat masalah dan kekurangan yang tidak sempat atau belum sempat ditangani beliau dengan baik.
Suatu masalah yang belum terlalu jernih diselesaikan–yang nota bene sangat diperlukan dalam menindaklanjuti Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara�?adalah menjawab pertanyaan bagaimanakah keterkaitan antara lima sila itu, sehingga seluruhnya bisa difahami sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Ir. Soekarno tidak menyelesaikan masalah ini. Beliau hanya menawarkan bagaimana mensimplikasikan lima sila Pancasila tersebut menjadi Trisila dan Trisila menjadi Ekasila, dengan risiko bahwa masing-masing sila kehilangan ciri khas serta fungsinya yang semula. Lagi pula, keterangan Ir. Soekarno yang berbeda-beda tentang Pancasila, serta penafsiran beliau kemudian bahwa Pancasila adalah “marxisme yang diterapkan di Indonesia�? telah menyebabkan kebingungan banyak pihak, bukan hanya terhadap substansi Pancasila tetapi juga terhadap bagaimana menindaklanjuti Pancasila tersebut ke dalam struktur serta mekanisme kenegaraan.
Langganan:
Postingan (Atom)